Artikel
Tentang "Tidak Ada Rotan Akar Pun Jadi" Dikutip dari Situs smeindonesia
AKIHIRO Tokunaga lahir ketika Jepang menghadapi masa krisis, PD II dan jatuhnya bom di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa tersebut menorehkan ekor yang panjang kepada Akihiro ketika ia dipaksa kehilangan sang ayah yang mati muda karena terkena efek radioaktif. Pascaperistiwa itu, sang ibu terpaksa menopang hidup dengan cara membuka bar di sebuah perkampungan kumuh di Hiroshima. Merasa tidak tepat dengan lingkungan sosial dan lingkungan kerja sang ibu, Akihiro diputuskan untuk diungsikan ke Desa Saga. Di tempat itu, ia diasuh oleh neneknya dari pihak Ibu.
Desa Saga bukanlah sebuah tempat yang makmur melainkan kampung yang kondisi dan situasinya tidak lebih baik dari Hiroshima. Namun, setelah tinggal di tempat itu, Akihiro mendapatkan banyak pelajaran yang sangat berharga tentang arti hidup yang hakiki. Meskipun miskin, nenek Akihiro tidak pernah menganggap hal itu sebagai siksaan. Kemiskinan itu dijadikan sang nenek sebagai sarana untuk memeras otak agar tidak tampak sebagai seseorang yang “miskin muram”. Nenek selalu meyakinkan Akihiro untuk bangga menjadi orang “miskin ceria”. Artinya, di balik kemiskinan terselip ledakan kebahagiaan yang tiada terkira.
Pelajaran sang nenek yang pertama adalah pengendalian api. Akihiro kecil dipaksa untuk mampu mengendalikan api pada tungku. Pompaan semangat sang nenek yang sarat muatan optimistis membuat dirinya dalam waktu singkat mampu menyalakan, meniup, dan menjaga api selama menanak nasi. Kegagalan yang terjadi pada hasil tanakannya tidak lantas mengundang hujatan dari sang nenek, tetapi justru mengundang deraan spirit luar biasa. Alhasil, Akihiro menjadi percaya diri dan mampu mengemban tugasnya.
Pelajaran kedua yang diperoleh Akihiro kecil adalah supermarket mini pribadi. Yang disebut supermarket pribadi adalah sebuah sungai yang mengalirkan rezeki kepada nenek dan Akihiro. Aspek cinta lingkungan diterapkan dengan kuat oleh sang nenek kepada Akihiro. Nenek memanfaatkan sebuah batang kayu yang dibentuk menjadi sebuah galah. Galah itu dipakai untuk menjaring benda-benda “buangan”, seperti sandal kayu, sayuran, buah-buahan, bahkan udang karang.
Dengan peralatan yang sederhana tersebut, Nenek mengajarkan bahwa menjadi orang miskin yang “ceria” tidak perlu merasa rendah diri, tetapi percaya diri. Benda-benda buangan tidak selamanya busuk, tetapi senantiasa ada bagian-bagian yang dapat dipakai. Bahkan, sebuah sandal yang terhanyut pun, pada beberapa waktu kemudian pasti akan ada pasangannya yang menyusul. Nenek selalu memompa semangat kepada sang cucu bahwa sungai tersebut layak dijadikan sebagai supermarket pribadi karena benda-benda yang terhanyut ibarat kiriman yang langsung ditujukan kepada sang pemesan tanpa memeras tenaga dan ongkos kirim!
Etos kerja keras juga diterapkan sang nenek kepada Akihiro. Ketika lidahnya tergoda display permen di sebuah toko, Akihiro mengajak teman-temannya untuk menabung dan mengikuti cara unik sang nenek dalam menerapkan konsep daur ulang. Pinggang mereka diikat dengan sebuah tali. Ujung tali yang satu diikatkan dengan sebuah magnet. Dengan ekor itu mereka berjalan berkelilling sambil “mengajak” sisa-sisa logam menempel pada magnet. Benda itu dikumpulkan dan dijual kepada “toko daur ulang”. Hasil penjualan itulah yang dijadikan sebagai modal untuk membeli permen! Buku tersebut “wajib” dijadikan sebagai kitab pendidikan wajib budi pekerti dalam menghormati keluarga, lingkungan, dan kehidupan.
AKIHIRO Tokunaga lahir ketika Jepang menghadapi masa krisis, PD II dan jatuhnya bom di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa tersebut menorehkan ekor yang panjang kepada Akihiro ketika ia dipaksa kehilangan sang ayah yang mati muda karena terkena efek radioaktif. Pascaperistiwa itu, sang ibu terpaksa menopang hidup dengan cara membuka bar di sebuah perkampungan kumuh di Hiroshima. Merasa tidak tepat dengan lingkungan sosial dan lingkungan kerja sang ibu, Akihiro diputuskan untuk diungsikan ke Desa Saga. Di tempat itu, ia diasuh oleh neneknya dari pihak Ibu.
Desa Saga bukanlah sebuah tempat yang makmur melainkan kampung yang kondisi dan situasinya tidak lebih baik dari Hiroshima. Namun, setelah tinggal di tempat itu, Akihiro mendapatkan banyak pelajaran yang sangat berharga tentang arti hidup yang hakiki. Meskipun miskin, nenek Akihiro tidak pernah menganggap hal itu sebagai siksaan. Kemiskinan itu dijadikan sang nenek sebagai sarana untuk memeras otak agar tidak tampak sebagai seseorang yang “miskin muram”. Nenek selalu meyakinkan Akihiro untuk bangga menjadi orang “miskin ceria”. Artinya, di balik kemiskinan terselip ledakan kebahagiaan yang tiada terkira.
Pelajaran sang nenek yang pertama adalah pengendalian api. Akihiro kecil dipaksa untuk mampu mengendalikan api pada tungku. Pompaan semangat sang nenek yang sarat muatan optimistis membuat dirinya dalam waktu singkat mampu menyalakan, meniup, dan menjaga api selama menanak nasi. Kegagalan yang terjadi pada hasil tanakannya tidak lantas mengundang hujatan dari sang nenek, tetapi justru mengundang deraan spirit luar biasa. Alhasil, Akihiro menjadi percaya diri dan mampu mengemban tugasnya.
Pelajaran kedua yang diperoleh Akihiro kecil adalah supermarket mini pribadi. Yang disebut supermarket pribadi adalah sebuah sungai yang mengalirkan rezeki kepada nenek dan Akihiro. Aspek cinta lingkungan diterapkan dengan kuat oleh sang nenek kepada Akihiro. Nenek memanfaatkan sebuah batang kayu yang dibentuk menjadi sebuah galah. Galah itu dipakai untuk menjaring benda-benda “buangan”, seperti sandal kayu, sayuran, buah-buahan, bahkan udang karang.
Dengan peralatan yang sederhana tersebut, Nenek mengajarkan bahwa menjadi orang miskin yang “ceria” tidak perlu merasa rendah diri, tetapi percaya diri. Benda-benda buangan tidak selamanya busuk, tetapi senantiasa ada bagian-bagian yang dapat dipakai. Bahkan, sebuah sandal yang terhanyut pun, pada beberapa waktu kemudian pasti akan ada pasangannya yang menyusul. Nenek selalu memompa semangat kepada sang cucu bahwa sungai tersebut layak dijadikan sebagai supermarket pribadi karena benda-benda yang terhanyut ibarat kiriman yang langsung ditujukan kepada sang pemesan tanpa memeras tenaga dan ongkos kirim!
Etos kerja keras juga diterapkan sang nenek kepada Akihiro. Ketika lidahnya tergoda display permen di sebuah toko, Akihiro mengajak teman-temannya untuk menabung dan mengikuti cara unik sang nenek dalam menerapkan konsep daur ulang. Pinggang mereka diikat dengan sebuah tali. Ujung tali yang satu diikatkan dengan sebuah magnet. Dengan ekor itu mereka berjalan berkelilling sambil “mengajak” sisa-sisa logam menempel pada magnet. Benda itu dikumpulkan dan dijual kepada “toko daur ulang”. Hasil penjualan itulah yang dijadikan sebagai modal untuk membeli permen! Buku tersebut “wajib” dijadikan sebagai kitab pendidikan wajib budi pekerti dalam menghormati keluarga, lingkungan, dan kehidupan.
Tanggapan :
Problematika
kemiskinan yang dihadapi di Indonesia adalah kemiskinan multi-dimensi :
*Kemiskinan
ekonomi
*Kemiskinan
ilmu dan keahlian
*Kemiskinan
moral, akhlak dan mentalitas.
Sifat
Kemiskinan sudah merusak sistem dan tatanan ekonomi, sosial budaya bangsa
bahkan masuk ke dalam tatanan politik terutama pada kemiskinan akan penerapan
nilai-nilai yang luhur.
Kemiskinan harus ditangani dari berbagai dimensi;
ekonomi, akhlak dan keilmuan.
Ketika
kita berada pada posisi sulit sehingga membuat kita hidup serba kekurangan,itu
tidak berarti kita harus merendahkan diri kita sendiri dan membuat kita malas. Apalagi
ketika kita masih diberi kesehatan oleh
Allah dan masih mampu untuk bekerja. Namun kenyataannya berbeda, anak jalanan
yang menjadi pengemis, sangat mudah dijumpai di kota besar seperti Jakarta dan
kota besar lainnya. Begitu banyak faktor yang menjadikan mereka sebagai pekerja
jalanan yang keras dan beresiko, seperti membantu ekonomi keluarga, menjadi
korban penculikan, dipaksa bekerja orang lain, dan lain sebagainya.Seharusnya
yang mereka lakukan adalah belajar dan bermain seperti layaknya anak-anak
seumur mereka tanpa harus mencari uang untuk dapat tetap bertahan hidup. Masa
depan Bangsa dan Negara Indonesia terletak di tangan generasi penerus. Kualitas
SDM yang rendah sangat berpengaruh pada kondisi negara ini baik saat ini maupun
di masa yang akan datang.
Banyak
alasan yang mendasari seseorang atau sekelompok orang terjun menjadi pengemis.
Pertama, karena secara lahir mereka cacat dan tidak memiliki kemampuan untuk
bekerja, pun tak ada yang menangung biaya hidupnya. Mereka memperlihatkan
kecacatannya untuk mengundang belas kasih orang lain. Kedua, karena tidak mampu
untuk membayar biaya sekolah. Ketiga, karena terpaksa. Entah terpaksa oleh
keadaan atau dikoordinir oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Masih
ada banyak alasan lain yang membuat seseorang mengemis dijalanan, dengan metoda
mengemis yang lebih variatif tentunya. Bila ditinjau lebih dalam, akar
permasalahan fenomena ini hanya satu: “kemiskinan”. Entah itu miskin materi,
pendidikan, atau miskin usaha.
Menjadi
orang miskin tidak harus membuat seseorang menjadi rendah diri serta melakukan
hal-hal negative. Tetapi percaya pada kemampuan yang dimiliki. Masih banyak
yang dapat dilakukan selain mengemis. Daripada mengemis, lebih baik melakukan
sesuatu yang bermanfaat dengan mencari pekerjaan sesuai keahlian yang dimiliki.
Menjadi tukang parkir, cleaning service, berjualan gorengan, dan masih banyak
lagi pekerjaan yang dapat dilakukan sesuai kemampuan yang dimiliki. Atau bisa
juga dengan mengumpulkan barang bekas
dan kemudian mendaur ulang kembali sehingga menjadi barang yang memiliki nilai
jual. Selain itu,masyarakat
butuh Pendidikan, Modal, Kesempatan Berwiraswasta dan Lapangan Pekerjaan yang
mampu menyerap tenaga kerja dari berbagai sektor dan latar belakang pendidikan.
Seharusnya
para pengemis dibawa ke Depsos. Disana mereka akan didata satu– persatu setelah
itu mereka akan diberikan bimbingan, pelatihan dan penunjang lainya. Disana
mereka akan disekolahkan melalui sekolah nonformal yang mana sekolah nonformal.
Agar mereka dapat menggali potensi dirinya masing – masing dalam bentuk hal
kesenian, baik itu seni lukis, seni tari, seni musik dan lain – lain. Ada pula
dalam hal olahraga, baik itu olah raga sepak bola, bulu tangkis, tenis meja dan
lain – lain. Mereka sehari – harinya akan diisi oleh hal – hal yang positif
yang dibimbing oleh tenaga ahli dibidangnya. Oleh para pengelola mereka akan
ditargetkan dalam beberpa waktu harus menguasai bidang tersebut. Bila sudah
menguasai bidang terebut oleh pengelola mereka akan dikirim ke lembaga tenaga
kerja, sehingga mereka tidak kembali lagi turun ke jalan agar semuanya menjadi
manusia yang lebih produktif berguna dirinya dan orang lain.
Sudah
sewajarnya lah kita sebagai masyarakat ikut membantu dengan tidak memberikan
uang kepada sembarang pengemis. Miskin bukan berarti harus mengemis bukan..?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar